Petualangan di luar batas dunia modern

Petualangan di luar batas dunia modern

Petualangan di luar batas dunia modern

Petualangan Di Luar Batas Dunia Modern

 

Baru saja ketika ingin menulis artikel ini, sebuah tautan muncul di halaman media sosial saya. Sebuah artikel yang langsung menarik perhatian karena kebetulan sekali sangat mendukung artikel yang akan saya tulis. Judulnya ‘This Is Your Brain on Nature’ dari situs National Geographic. Kala itu saya memang sedang mencari literatur baru, yang dapat menguatkan tulisan ini. Memang rejeki anak soleh. Setelah selesai baca artikel tersebut, saya langsung ketik sana ketik sini dan jadilah tulisan ini.

            Pada suatu ketika, sekelompok orang pergi untuk mendaki sebuah gunung. Lokasinya tidak jauh dari tempat mereka tinggal dan juga tidak terlalu tinggi. Tetapi konon pemandangannya sangat indah. Dari desa terakhir mereka mulai berjalan melewati kebun penduduk setempat hingga akhirnya masuk ke dalam hutan. Di mana jalurnya mulai menanjak, terus menanjak, dan semakin menanjak. Mereka mulai lelah. Jalan semakin lambat dan banyak melakukan pemberhentian. Tidak cukup dengan tanjakan yang tiada habisnya, hujan pun turun. Awalnya rintik-rintik, kemudian semakin deras. Sedikit mereda, tetapi kemudian deras kembali.

            Dengan kondisi yang lelah dan dingin, beberapa orang mulai mengeluh. Tetapi ada juga yang kuat dan terus menyemangati teman-temannya. Dan mereka pun terus bergerak dengan lambat tetapi pasti. Hingga akhirnya jalur menjadi semakin landai dan tibalah mereka di sebuah padang rumput yang luas dipenuhi bunga Edelweis. Mereka mendirikan kemah di sini. Hujan terus mengguyur mereka dan kabut menutupi pemandangan di sekitarnya. Hujan pun tak berhenti hingga tengah malam.

            Sambil menyeruput segelas kopi atau teh, mereka pun bercengkerama. Ada yang mengatakan betapa lelahnya dan kedinginan mereka saat ini. Beberapa orang mulai mengeluhkan betapa beratnya mendaki gunung dan tidak ingin mengulanginya lagi. Tetapi ada juga yang menikmati suasana dengan segelas kopi panas layaknya ia baru mendapat kebebasan yang jarang dirasakan. Dan malam pun berlalu. Matahari mulai terbit di ufuk timur. Cuaca sangat cerah pagi itu. Tidak ada awan maupun kabut menyelimuti. Mulai terlihat betapa indahnya padang rumput itu dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Setiap orang mulai menjepretkan kameranya. Mereka yang tadinya mengeluh kelelahan, sekarang terlihat sangat senang seperti tidak terjadi apa-apa kemarin. Mereka menikmati setiap detik di pagi itu, hingga pendakian pun berlalu.

            Setelah kembali dari gunung, mereka pun berkumpul kembali. Saling bercanda dan tertawa mengenang cerita pendakian itu. Tak satupun yang merasa sedih ataupun kesal dengan perjalanannya. Dan terlontar sebuah pertanyaan, Kapan kita mendaki lagi? Yang ternyata dilontarkan oleh orang yang mengeluh ketika pendakian.

            Kurang lebih, itulah gambaran umum apa yang dialami oleh orang-orang yang pernah mendaki gunung. Hampir setiap orang mengalami kesulitan ketika mendaki. Dan mayoritas orang yang pertama kali mendaki pasti mengatakan tidak ingin lagi. Tetapi setelah pendakian selesai, mereka akan meminta kembali diajak untuk mendaki gunung. Pertanyaannya adalah mengapa bisa seperti itu? Padahal apa yang dialami ketika mendaki gunung adalah sebagian besar penderitaan. Oleh karena itu berdasarkan fakta ini bisa disimpulkan bahwa ada sisi positif yang mereka dapatkan dari pengalamaan tersebut.

            Pengalaman yang didapatkan, itu bersifat unik. Bisa sama, tetapi bisa juga berbeda setiap orangnya. Bicara pengalaman, bagi mereka yang belum pernah mengalaminya akan sulit dipahami. Karena itu saya akan bicara secara ilmiah berdasarkan literatur yang saya sebutkan di awal tulisan ini.

img-1453520333.jpg

img-1453520451.jpg

img-1453520881.png


David Strayer, seorang Psikolog dari Universitas Utah, mengatakan bahwa otak kita itu mudah lelah dari kesibukan kita sehari-hari dan kehidupan perkotaan. Dan obatnya adalah alam. Strayer mengatakan ketika kita pergi dan menikmati keindahan alam sekitar, bukan hanya kita merasa kembali tersegarkan, tetapi kinerja otak kita juga meningkat. Strayer membuktikannya melalui percobaan terhadap muidnya dengan alat EEG untuk melihat aktivitas gelombang otak. (baca selengkapnya di http://ngm.nationalgeographic.com/2016/01/call-to-wild-text).

            Hijaunya pepohonan dan rerumputan serta warna-warni bunga di alam bebas dapat membuat kita lebih santai dan mengurangi stres. Tahun 1865, Frederick Law Olmsted telah menyadarinya dan merancang Central Park di kota New York karena ia yakin bahwa ruang hijau yang indah sangat dibutuhkan manusia. Kita tertinggal sangat jauh dalam hal ini.

            Dan bukan hanya itu, pendidikan melalui aktivitas alam terbuka sudah sangat lama diterapkan di negara maju karena dinilai sangat efektif dalam pembentukan karakter seseorang. Dan pendidikan tersebut dimulai dari usia dini. Mendaki gunung adalah salah satu kegiatannya. Masih banyak lagi aktivitas alam terbuka yang menjadi wadah untuk pembentukan karakter.

National Outdoor Leadership School (NOLS) telah lama menerapkan aktivitas alam terbuka untuk melatih kepemimpinan. Mereka mendefinisikan alam bebas (wilderness) sebagai tempat di mana situasi dan konsekuensi yang akan didapatkan itu nyata. Hidup dalam kondisi seperti itu akan menumbuhkan kemandirian, penilaian, penghormatan, dan tanggung jawab atas tindakan yang diambil. Dan akhirnya menumbuhkan jiwa kepemimpinan seseorang.

Dengan konsekuensi yang nyata, berarti kegiatan di alam bebas itu berbahaya? Tentu saja. Setiap aktivitas yang kita lakukan itu mengandung risiko. Bahkan hanya duduk diam dibelakang meja. Berisiko tinggi? Tentu saja. Karena  alam tidak mengenal belas kasih. Tidak membedakan siapapun. Kita tidak bisa bertindak sembarangan karena ada konsekuensi atas setiap tindakan yang kita lakukan. Tetapi kita bisa meminimalisir risiko dalam kegiatan di alam bebas melalui pengelolaan perjalanan yang baik dan kemampuan mumpuni yang tentu saja bisa dilatih.

Mendaki gunung itu bukan kegiatan yang bisa dilakukan dengan sembarangan. Konsekuensinya adalah nyawa. Perlu persiapan yang baik untuk mendaki gunung, apapun itu gunungnya. Mendaki gunung adalah sebuah seni. Bagaimana kita menghadapi hambatan dengan perencanaan yang kita lakukan. Bagaimana kita berlaku dan bersikap menghadapi segala kesulitan. Dan bagaimana kita menikmati perjalanan ini.

Kita mendaki untuk menikmati keindahan alam, melepaskan diri dari kepenatan atas aktivitas sehari-hari. Kita mendaki untuk kembali ke keluarga di rumah. Seorang pendaki legendary, Reinhold Messner, mengatakan bahwa kehilangan nyawa di gunung adalah suatu tindakan bodoh. Bukan dalam konteks menghina, tetapi meresapi arti dari mendaki gunung.

            Mendaki gunung atau aktivitas alam terbuka lainnya adalah kegiatan yang berbahaya. Tetapi dibaliknya mengandung banyak manfaat. Baik yang bersifat rekreasional, maupun edukatif. Alam bebas saat ini masih menjadi wadah yang paling efektif dalam membentuk karakter seseorang. Karena di alam bebas, kita keluar dari zona nyaman. Rasakan kebebasan di alam bebas. Kebebasan yang mungkin belum pernah Anda alami sebelumnya.

            Dalam pendakian gunung telah menanti sebuah petualangan dan misteri, serta ikatan seumur hidup dengan rekan pendaki lainnya. Tantangan dalam pendakian gunung menawarkan Anda sebuah kesempatan untuk belajar mengenai diri sendiri dengan petualangan di luar batas dunia modern.  Tanyalah dalam diri Anda sendiri, apakah Anda berani mencobanya?

 

Oleh: Frans

 www.indonesiaexpeditions.com

    

Komentar

    Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar

Testimonial

 

Tambah